Sebelas tahun silam, Situ Lembang menjadi bidikan Jui dan
kawan-kawannya di organisasi tanpa struktur, PEDA. Entah bagaimana awal
penamaan kumpulan mahasiswa lintas angkatan berjumlah limabelas orangan ini
sehingga tercetuslah Pencinta Dalan-dalan itu. Sedikit maksa memang.
Sabtu itu, ekspedisi jalan kaki menuju situ yang ada di Bandung Utara bukan perjalanan pertama
Sabtu itu, ekspedisi jalan kaki menuju situ yang ada di Bandung Utara bukan perjalanan pertama
mereka. Menikmati Situ Lembang dikala senja dengan selimut kabut
adalah pemandangan yang mengaduk segenap rasa jiwa. Takjub.
Berkemah dan ayam bakar menjadi menu selanjutnya. Menikmati setiap gigitan diterangi obor yang menyala mengitari danau. Ya, Jui masih merasakan suasana itu, kehangatan bara api yang membakar kayu.
Namun, di balik kesemua itu, ada kekosongan di ruang batin Jui. Tidak seperti perjalanan sebelumnya yang berbalut gelak dan keceriaan. Jui banyak termangu menatapi langit berbintang malam itu. Sementara rekan lainnya asyik mnikmati malam dalam senda gurau.
Keesokan harinya seolah menjadi jawaban. Minggu petang Jui telah kembali ke base camp, kamar kos Jui di perkampungan dekat kampus yang letaknya di pinggiran kota kembang.
Di tengah keletihan setelah menempuh perjalanan kaki, ibu kos mengabari Jui ada telepon dari rumah, "Ayah sakit, cepat pulang," ujarnya. Saat itu handphone belum umum bagi mahasiswa, terutama seperti Jui. Harganya terbilang mahal.
Malam itu menjadi perjalanan panjang dengan kegaduhan yang begitu menjadi dihatinya. Dengan bis terakhir dari Leuwi Panjang, Jui tiba di rumahnya ketika subuh merayapi pagi, setelah menempuh sekitar enam jam waktu perjalanan menggunakan bis.
Memasuki halaman rumah, Jui langsung dipapah oleh beberapa orang tetangganya. Deg, Jui seolah bisa menebak apa yang terjadi. Masuk ruang tengah, ia mendapati jasad terbujur dalam balutan kain. "Bapak siang kemarin terjatuh di kamar mandi, sudah di bawa ke rumah sakit tapi tidak tertolong," ujar kakak perempuannya.
Dalam tegarnya Jui berdoa. Ia menyadari segala sesuatunya telah ada yang mengatur. Tidak ada tangis berlebihan, hanya mata berkaca dalam diamnya. Dan siangnya, diiringi segenap warga yang menyemut mengiringi pemakamannya, Jui berdiri tegar menatap tanah merah pekuburan ayahnya. Mungkin inilah firasat di Situ Lembang kemarin.
Sosok ayahnya mengingatkan Jui pada masa-masa kecilnya. Ayahnya lah yang memberikan kepercayaan sejak sekolah menengah pertama sudah tidak tinggal di rumah, sampai kuliah. Ayahnyalah yang memberikan kesempatan untuk memilih berbeda dengan saudara lainnya. Masih hangat diingatan Jui, sepulang sekolah dasar berbagi bacaan Koran Pos Kota dengan ayahnya. Obrolan hangat tentang sepakbola yang digemarinya. Sampai saat ini pun, hobi itu masih melekat pada Jui.
Ayah, terima kasih, nanda haturkan kepadamu, yang telah membesarkanku bersama ibu.
Ayah, engkaulah guru yang terbaik dalam hidupku. Yang telah membimbing masa kecilku, meniti jalan tuhanku.
Titip rindu dalam sebait doa, semoga engkau dalam naunganNya. Aku bangga menjadi anakmu.
(Dalam kemacetan tol priok, 7 Nop 2012)
Berkemah dan ayam bakar menjadi menu selanjutnya. Menikmati setiap gigitan diterangi obor yang menyala mengitari danau. Ya, Jui masih merasakan suasana itu, kehangatan bara api yang membakar kayu.
Namun, di balik kesemua itu, ada kekosongan di ruang batin Jui. Tidak seperti perjalanan sebelumnya yang berbalut gelak dan keceriaan. Jui banyak termangu menatapi langit berbintang malam itu. Sementara rekan lainnya asyik mnikmati malam dalam senda gurau.
Keesokan harinya seolah menjadi jawaban. Minggu petang Jui telah kembali ke base camp, kamar kos Jui di perkampungan dekat kampus yang letaknya di pinggiran kota kembang.
Di tengah keletihan setelah menempuh perjalanan kaki, ibu kos mengabari Jui ada telepon dari rumah, "Ayah sakit, cepat pulang," ujarnya. Saat itu handphone belum umum bagi mahasiswa, terutama seperti Jui. Harganya terbilang mahal.
Malam itu menjadi perjalanan panjang dengan kegaduhan yang begitu menjadi dihatinya. Dengan bis terakhir dari Leuwi Panjang, Jui tiba di rumahnya ketika subuh merayapi pagi, setelah menempuh sekitar enam jam waktu perjalanan menggunakan bis.
Memasuki halaman rumah, Jui langsung dipapah oleh beberapa orang tetangganya. Deg, Jui seolah bisa menebak apa yang terjadi. Masuk ruang tengah, ia mendapati jasad terbujur dalam balutan kain. "Bapak siang kemarin terjatuh di kamar mandi, sudah di bawa ke rumah sakit tapi tidak tertolong," ujar kakak perempuannya.
Dalam tegarnya Jui berdoa. Ia menyadari segala sesuatunya telah ada yang mengatur. Tidak ada tangis berlebihan, hanya mata berkaca dalam diamnya. Dan siangnya, diiringi segenap warga yang menyemut mengiringi pemakamannya, Jui berdiri tegar menatap tanah merah pekuburan ayahnya. Mungkin inilah firasat di Situ Lembang kemarin.
Sosok ayahnya mengingatkan Jui pada masa-masa kecilnya. Ayahnya lah yang memberikan kepercayaan sejak sekolah menengah pertama sudah tidak tinggal di rumah, sampai kuliah. Ayahnyalah yang memberikan kesempatan untuk memilih berbeda dengan saudara lainnya. Masih hangat diingatan Jui, sepulang sekolah dasar berbagi bacaan Koran Pos Kota dengan ayahnya. Obrolan hangat tentang sepakbola yang digemarinya. Sampai saat ini pun, hobi itu masih melekat pada Jui.
Ayah, terima kasih, nanda haturkan kepadamu, yang telah membesarkanku bersama ibu.
Ayah, engkaulah guru yang terbaik dalam hidupku. Yang telah membimbing masa kecilku, meniti jalan tuhanku.
Titip rindu dalam sebait doa, semoga engkau dalam naunganNya. Aku bangga menjadi anakmu.
(Dalam kemacetan tol priok, 7 Nop 2012)
0 komentar:
Posting Komentar