Pages

Jumat, 26 September 2014

IGD dan Tadzkiroh

Masuk perawatan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) memang terkesan seram. Kata gawat darurat yang tersemat di nama ruangan ini sebagai penyebabnya. Ruangan ini dipersiapkan untuk memberikan pertolongan pertama secepat-cepatnya.

Namun, pasien yang masuk ke ruangan ini ternyata tidak melulu dalam kondisi gawat. Seperti sore di awal September, aku berkunjung untuk memeriksakan hasil ekstraksi kuku jempol kaki kiri dan kanan karena cantengan di salah satu rumah sakit besar di kotaku.


Cantengan di dalam dunia kedokteran dinamakan paronychia. Istilah paronychia berasal dari kata Latin 'parōnychia', dari kata Yunani kuno 'paronukhia'. Para bermakna sekitar, sekeliling dan onux, onukh bermakna kuku. Jadi arti harfiahnya di sekitar kuku, di sekeliling kuku.

Paronikia merupakan peradangan (inflammation) jaringan di sekitar kuku jari tangan atau kuku jari kaki. Proses peradangan ini terkadang dapat menghasilkan nanah (pus).

Perlu waktu untuk mengumpulkan keberanian mencabut kedua kuku ini. Terbayang sakit, tidak boleh kena air dan tidak bisa pakai sepatu untuk beberapa hari kemudian.

Ketika datang, aku langsung diarahkan ke tempat tidur periksa yang berjejer lebih dari sepuluh tempat tidur dengan gorden hijau. Berbaring untuk diperiksa dan ditanya ini itu oleh perawat. Setelah itu, aku harus menunggu karena dokter jaganya sedang ada pasien gawat darurat.

Di tengah masa penantian itulah aku merasa seperti berada di dunia lain. Banyak suara yang didengar, suara alat pengukur detak jantung, orang yang kesakitan, kepanikan keluarga yang mengantar pasien kecelakaan dan suara-suara yang membuat hati ini miris.

Dari sinilah kesadaran akan rasa bersyukur itu sekonyong-konyong muncul kembali. Betapa batas antara hidup dan kematian itu begitu dekat. Betapa kesehatan yang selama ini melekat ditubuh kita luput untuk disyukuri.

Suara anak kecil yang meraung-raung kesakitan di pojok dekat pintu masuk masih terus terdengar. Banyak alat bantu kedokteran yang dipasang ditubuhnya. Sementara ibunya berusaha untuk bersabar. Raut mukanya terlihat begitu keruh penuh dengan kekhawatiran.

Rupanya hampir setengah jam lebih aku menunggu untuk diperiksa oleh dokter. Masih belum kering dan harus diperban lagi, katanya. Tiga hari lagi kontrol ke dokter bedah. Alamak....masa harus ke dokter bedah.

Dengan berjalan sedikit terpincang-pincang aku meninggalkan ruang IGD. Suara adzan magrib menyelinap di tengah kesibukan rumah sakit petang itu. Kunjungan kali ini membawa pesan tadzkiroh. Peringatan untuk selalu bersyukur dan menjauhi sifat jumawa.

Pesan lainnya, ketika kita ditimpa musibah atau kesusahan, marilah kita tengok ke bawah. Masih banyak orang yang lebih susah dari kita. Tidak ada alasan untuk berputus asa terlebih memberikan vonis bersalah pada Tuhan yang menurunkan penyakit kepada kita. (jjs)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blog Archive

Blogroll

# Happy people is not a great man in every way, but one that can find simple things in life and give thanks diligent.
# Life is a game with obstacles encountered and when there is a chance, we have to seize it.

About