Rabu, 07 November 2012
Langit Tak Berbintang
Malam yang bergelayut awan hitam pekat itu tak kunjung mencucurkan hujan. Hanya deruan angin kencang mendera setiap benda yang tinggi sehingga pepohonanpun dibuat terseok-seok dalam tarian malam tanpa judul. Bintang pun enggan menampakkan diri.
Sementara itu, suasana di Masjid selepas sholat isya terasa hangat dengan obrolan para bapak yang menunggu Ustadz Ilyas. Malam itu kajian ringan tingkat RT di tempat Jui mambahas tentang Yaumul Hisab. Beuh, dari temanya sudah terbaca bakalan serius dan menegangkan.
Diawali dengan keimanan terhadap yaumul akhir yang jelas termaktub dalam bacaan Surat Al Fatihah, malikiyaumiddin. Ya, hari kemudian. Manusia, setelah dicabut nyawanya akan memasuki fase kehidupan berikutnya, alam kubur.
Di alam yang satu ini, sudah tampak kisi-kisi rapor yang akan diterima. Ahli kubur dengan amalan baik akan menikmati penantian sampai hari berbangkit dalam suasana menyenangkan, sementara yang beramal buruk selama didunia sudah dinampakkan persekot nerakanya sejak masuk alam kubur.
Setelah malaikat Isrofil meniupkan sangkakala pertama pertanda kiamat telah tiba, dan semua makhluk dimatikan, kecuali atas izin Allah ada malaikat yang tetap hidup. Maka selanjutnya sangkakala kedua pun ditiupkan pertanda hari berbangkit telah tiba. Manusia dari seluruh generasi dikumpulkan di padang mahsyar dalam keadaan telanjang dan penuh dengan ketegangan.
Prosesi selanjutnya adalah pembagian kitab amal dan penimbangan amal manusia. Dalam mahkamah Allah inilah keadilan seadil-adilnya akan ditunjukkan. Mulut terkunci, anggota tubuh yang akan memberikan kesaksiannya. Tidak ada lagi bermain watak, tidak ada lagi kuasa tim pengacara kondang yang sesuka hati mempermainkan putusan hakim seperti di dunia. Ya, ini akhirat, bung!
Syafaat rasulullah menjadi titik terang dalam kekalutan, dan amalan-amalan terbaik akan menjadi penolong untuk menyelamatkan, minimal memperberat timbangan kebaikan sehingga tidak defisit amal. Ya, bacaan quran, puasa dan amalan terbaik dengan balutan keikhlasan karena Allah akan menjadi secercah harapan di tengah kegalauan.
Satu tahapan lagi yang menegangkan ketika manusia berjalan di atas shirot yang digambarkan lebarnya setara selembar rambut. Kecepatan setiap orang ditentukan oleh nilai amalan kita. Ada yang merangkak, tertatih dan secepat kilat.
"Ustadz, bagaimana sepatutnya kita menyikapi yaumul hisab ini," tanya Ocid selepas penjelasan Ustadz Ilyas.
"Pertama kita mengimani adanya hari akhir dan prosesnya. Diperlukan ketundukkan akal dalam memaknai hal yang gaib dan kekuasaan Allah," jawab Ustadz berkacamata ini.
"Hendaknya kita menyikapi dengan perasaan khouf dan roja, takut dan penuh harap. Takut amalan kita belum cukup dan berharap amalan kita diterima. Tanggalkan kesombongan," lanjut Ustadz Ilyas. "Bangunlah pola pikir menganggap kecil setiap amal kita sehingga kita bersemangat untuk terus meningkatkan amal, dan menganggap besar dosa kecil kita supaya kita lekas bertobat. Bukankah dosa kecil yang ditumpuk akan menjadi dosa besar?"
"Apalagi ustadz?" tanya Ocid lagi penuh semangat.
"Miliki amalan andalan. Misalnya bacaan quran, sholat malam, infak, puasa dan lainnya," jawab sang Ustadz. "O, ya. Surga juga memiliki pintu khusus, ada delapan. Pintu haji (mabrur), Sholat (sunah), Sedekah, Jihad (syahid), Tauhid dan tawakkal, Puasa (arro'yan), Al walidain (berbakti kepada orang tua), mengurus anak istri dengan amanah," terangnya lagi.
Malam itu langit tidak berbintang, namun hati orang-orang yang berada di masjid itu seolah diterangi secercah cahaya. Ya, cahaya ilmu.
Pwk, 4 Nop 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar