Pesawat yang ditumpangi Jui mendarat mulus di Bandara Juanda Surabaya.
Walaupun sempat dibuat kesal dengan keterlambatan keberangkatan alias delay
khas maskapai negeri ini, namun menginjakkan kaki dengan selamat seolah
menghapus semua itu.
Menyusuri jalan antara Bandara Juanda ke Kota Surabaya seperti menguak memori lama. Ya, tetap suasana kepadatan transportasi di jam pulang kantor mendera jalanan Surabaya. Malah menurut Sugimin, sopir taksi asal Nganjuk yang ditumpangi, akan dibangun mall baru dekat Juanda yang pastinya akan menambah titik kemacetan.
Kurang dari satu jam taksi biru itu tiba di Pandegiling, tempat Jui menginap. Jam saat itu menunjukkan pukul lima sore.
Selepas sholat magrib, Jui bergegas keluar penginapan untuk sekedar mencari kudapan dan menghirup udara malam Surabaya. Aih, suasana jalan di Pandegiling yang sore tadi biasa saja sekarang sudah berubah dengan pedagang kaki lima berjajar sepanjang Pandegiling.
Tak sengaja Jui melewati tukang pangkas rambut yang ada ditepi jalan Darmo, "Ups, kebetulan, cukur dulu ah," gumam Jui sumringah.
Selama dicukur, mengalirlah obrolan ngalor ngidul dengan bapak tua asli Bangkalan Madura, si tukang cukur. Dengan khas dialek Maduranya, dia bercerita tentang kehidupan Surabaya.
"Di sini saya sudah delapan tahun, mas. Sama dengan yang lain, ngontrak. Ya, sepanjang jalan ini semuanya ngontrak. Yang punyanya kebanyakan Cina," tuturnya.
"Berapa ngontraknya, pak?" tanya Jui.
"Pertahun dua belas juta. Dan tiap tahun selalu naik. Tapi, ya bagaimana lagi," jawabnya dengan nada pasrah.
Menurutnya, profesi tukang cukurnya merupakan khas dari Madura, seperti di Jakarta, tukang cukur didominasi oleh orang Garut, di Surabaya oleh orang Bangkalan. Sedangkan sate biasanya dari orang Sampang.
Setelah selesai cukur, Jui menghampiri penjaja makanan yang ada di Pandegiling. Soto daging "Asli" madura jadi pilihan. Kenapa pakai asli? Ya, karena di spanduknya ada tulisan Soto Daging Madura, ASLI.
Dengan ditemani segelas es teh manis, soto dengan konsep nasi berenang ini memang nikmat. Santannya mirip dengan soto betawi kalau dirasa-rasa. Cukup sepuluh ribu untuk makan soto madura ditambah kerupuk dan es teh manis.
Semenjak pertama melewati Pandegiling, Jui dibuat penasaran dengan pedagang es kacang ijo di sebelah penjual soto yang selalu disemuti pembeli, baik dibungkus maupun dimakan disitu. Pembeli datang silih berganti tiada henti.
Jui tidak mau larut dalam rasa penasaran. Dihampirinya penjual es kacang ijo dan duduk manis di bangku panjang dengan pembeli lainnya.
"Satu ya, bu," ujar Jui ke Si Ibu penjual es yang dijawab dengan anggukan kepala.
Pedagangnya ternyata ada sekitar empat orang dengan tugas masing-masing. Dua orang melayani pembeli, satu lagi nyerut es dan satu lagi cuci mangkuk.
Es kacang ijo ini disajikan dalam mangkuk, kacang ijo mendominasi dengan taburan santan yang khas berwarna putih, tak lupa bongkahan es kecil disertakan. Rasanya, "seger rek." Harganya cuma tigaribu rupiah. Jadi mengingatkan Jui ke penjual es waktu SMP di Kota Kelahirannya nun jauh di ujung barat pulau Jawa.
Malam mulai merambat, sementara itu, lapak-lapak lainnya juga ramai pembeli. Ya, banyak lapak, punya rejekinya masing masing.
Jui bergegas meninggalkan kerumunan pedagang di Pandegiling, sayup terdengar dari pengeras suara masjid syiir Gusdur.
Ngawiti ingsun nglaras syi’iran …. (aku memulai menembangkan syi’ir)
Kelawan muji maring Pengeran …. (dengan memuji kepada Tuhan)
Kang paring rohmat lan kenikmatan …. (yang memberi rohmat dan kenikmatan)
Rino wengine tanpo pitungan 2X …. (siang dan malamnya tanpa terhitung)
Pandegiling Sby, 31.10.12
Menyusuri jalan antara Bandara Juanda ke Kota Surabaya seperti menguak memori lama. Ya, tetap suasana kepadatan transportasi di jam pulang kantor mendera jalanan Surabaya. Malah menurut Sugimin, sopir taksi asal Nganjuk yang ditumpangi, akan dibangun mall baru dekat Juanda yang pastinya akan menambah titik kemacetan.
Kurang dari satu jam taksi biru itu tiba di Pandegiling, tempat Jui menginap. Jam saat itu menunjukkan pukul lima sore.
Selepas sholat magrib, Jui bergegas keluar penginapan untuk sekedar mencari kudapan dan menghirup udara malam Surabaya. Aih, suasana jalan di Pandegiling yang sore tadi biasa saja sekarang sudah berubah dengan pedagang kaki lima berjajar sepanjang Pandegiling.
Tak sengaja Jui melewati tukang pangkas rambut yang ada ditepi jalan Darmo, "Ups, kebetulan, cukur dulu ah," gumam Jui sumringah.
Selama dicukur, mengalirlah obrolan ngalor ngidul dengan bapak tua asli Bangkalan Madura, si tukang cukur. Dengan khas dialek Maduranya, dia bercerita tentang kehidupan Surabaya.
"Di sini saya sudah delapan tahun, mas. Sama dengan yang lain, ngontrak. Ya, sepanjang jalan ini semuanya ngontrak. Yang punyanya kebanyakan Cina," tuturnya.
"Berapa ngontraknya, pak?" tanya Jui.
"Pertahun dua belas juta. Dan tiap tahun selalu naik. Tapi, ya bagaimana lagi," jawabnya dengan nada pasrah.
Menurutnya, profesi tukang cukurnya merupakan khas dari Madura, seperti di Jakarta, tukang cukur didominasi oleh orang Garut, di Surabaya oleh orang Bangkalan. Sedangkan sate biasanya dari orang Sampang.
Setelah selesai cukur, Jui menghampiri penjaja makanan yang ada di Pandegiling. Soto daging "Asli" madura jadi pilihan. Kenapa pakai asli? Ya, karena di spanduknya ada tulisan Soto Daging Madura, ASLI.
Dengan ditemani segelas es teh manis, soto dengan konsep nasi berenang ini memang nikmat. Santannya mirip dengan soto betawi kalau dirasa-rasa. Cukup sepuluh ribu untuk makan soto madura ditambah kerupuk dan es teh manis.
Semenjak pertama melewati Pandegiling, Jui dibuat penasaran dengan pedagang es kacang ijo di sebelah penjual soto yang selalu disemuti pembeli, baik dibungkus maupun dimakan disitu. Pembeli datang silih berganti tiada henti.
Jui tidak mau larut dalam rasa penasaran. Dihampirinya penjual es kacang ijo dan duduk manis di bangku panjang dengan pembeli lainnya.
"Satu ya, bu," ujar Jui ke Si Ibu penjual es yang dijawab dengan anggukan kepala.
Pedagangnya ternyata ada sekitar empat orang dengan tugas masing-masing. Dua orang melayani pembeli, satu lagi nyerut es dan satu lagi cuci mangkuk.
Es kacang ijo ini disajikan dalam mangkuk, kacang ijo mendominasi dengan taburan santan yang khas berwarna putih, tak lupa bongkahan es kecil disertakan. Rasanya, "seger rek." Harganya cuma tigaribu rupiah. Jadi mengingatkan Jui ke penjual es waktu SMP di Kota Kelahirannya nun jauh di ujung barat pulau Jawa.
Malam mulai merambat, sementara itu, lapak-lapak lainnya juga ramai pembeli. Ya, banyak lapak, punya rejekinya masing masing.
Jui bergegas meninggalkan kerumunan pedagang di Pandegiling, sayup terdengar dari pengeras suara masjid syiir Gusdur.
Ngawiti ingsun nglaras syi’iran …. (aku memulai menembangkan syi’ir)
Kelawan muji maring Pengeran …. (dengan memuji kepada Tuhan)
Kang paring rohmat lan kenikmatan …. (yang memberi rohmat dan kenikmatan)
Rino wengine tanpo pitungan 2X …. (siang dan malamnya tanpa terhitung)
Pandegiling Sby, 31.10.12
Kapan ke sana lagi ya?
BalasHapus