Pages

Jumat, 15 Agustus 2014

Ustadz Kita



Ceritanya, pagi ini aku tidak sengaja nonton acara televisi. Itu pun nonton di pool shuttle langganan ketika akan berangkat kerja. Nampaklah seorang ustadz sedang berceramah dengan gaya khasnya di salah satu stasiun televisi nasional (yang jelas bukan stasiun kereta api).

Ngomong-ngomong masalah ustadz. Sepertinya sudah ada penurunan nilai, kesakralan nama ustadz mengalami degradasi (hehe..kayak kompetisi sepakbola saja ada istilah turun kasta). Setidaknya itu yang aku rasakan tatkala masa kecil di kampung dengan masa anakku sekarang ini.

Dulu, mencari ustadz untuk mengajar ngaji anak-anak itu sulitnya bukan main. Makanya, ustadz pada masa tersebut begitu dihormati, selain ustadz juga sebagai pemuka masyarakat saat itu. Dan yang membuat salut dengan ustadz masa itu, mayoritas mereka lebih mengedepankan pengabdian ketimbang mengejar materi. 

Mereka bisa mengajar anak-anak mulai dari bapaknya sampai generasi anaknya. Mulai anak paling besar sampe adik-adiknya (maksudnya dalam waktu yang lama). Saya masih ingat nama ustadz yang mengajar mulai sebelum sekolah dasar sampai menjelang sekolah menengah. Salam takzim untuk keluarga almarhum Ustadz Rais nun jauh di Pandeglang Banten.

Lha, memang sekarang tidak mengabdi? Bukan begitu. Seiring banyaknya ustadz-ustadz, ada peningkatan pada satu sisi, pun ada penurunan pada sisi yang lain. Kuantitas ustadz meningkat, berikut bermacam-macam metode belajar Al Quran pun ditemukan. Namun, disisi lain terjadi penurunan 'nilai-nilai' penghormatan terhadap profesi ustadz (setidaknya dari cerita teman). 

Dulu, untuk menjadi ustadz mereka dibekali dengan ilmu agama yang mumpuni. Lulusan pesantren dengan pengalaman nyantri bertahun-tahun. Saat ini, siapa yang bisa mengajar agama dipanggil Pak Guru atau Pak Ustadz. Tidak ada yang salah. Aku tidak mengatakan ustadz sekarang tidak mumpuni lho. Mungkin karena kuantitasnya semakin banyak menjadi hal yang sangat biasa.

Mungkin yang membuat aku prihatin adalah dengan adanya istilah ustadz seleb. Ustadz yang diangkat melalui layar kaca. Menjadi komoditas dan pada akhirnya rate infak kehadirannya disamakan dengan rating acara shownya di tipi (baca televisi). Belum lagi dengan gaya hidupnya yang tidak meneladani rasulullah dengan sifat zuhudnya (sudah ah, entar ghibah).

Sebenarnya saya juga seorang ustadz. Saya mengajar anak baca Al Quran di rumah. Menjadi guru ketika anak bertanya soal agama. Bolehlah nanti memanggil nama beken saya, Ujul (Ustadz Juli). Biar tidak kalah dengan gelar kolega saya di kantor yang sudah beken duluan dengan gelar Udik (Ustadz Didik) dan Uje (Ustadz Jepluk).

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blog Archive

Blogroll

# Happy people is not a great man in every way, but one that can find simple things in life and give thanks diligent.
# Life is a game with obstacles encountered and when there is a chance, we have to seize it.

About